Gaya Bahasa Perbandingan dalam Bahasa Jurnalistik

bahasajurnal1Apa sajakah itu? Aku saja sampai lupa. Padahal bukunya bertengger sejak empat tahun yang lalu. Adakah manfaat yang bisa kuserap? Ada! Selama ini aku selalu jatuh cinta pada kata-kata bersayap di berbagai jenis tulisan. Kata bersayap itulah menjadi senjata utama memikat pembaca. Ada kalanya perlu untuk bumbu, namun ada kalanya juga perlu disingkirkan.

Perumpamaan, sering digunakan dalam kolom opini dan pelaporan mendalam. Sering kutemukan kalimat seperti: penjahat itu licin seperti belut, rakus seperti monyet, seperti kucing dan anjing, bagai raja sehari, bak cacing kepanasan. Intinya perumpamaan dibuat sebagai perbandingan objek yang dijelaskan.

Metafora, sejenis ungkapan yang terdiri dari gabungan kata. Anak emas, buah bibir, buah tangan, mata duitan, manis mulut, surga dunia, jendela dunia, dan berbagai ungkapan lain yang sering digunakan dalam koran.

Personifikasi, inilah permainan drama dalam kata. Seolah benda tak bernyawa berlaku seperti manusia. Sering kugunakan, benda mati seolah memiliki indera. Banyak kalimat yang kugunakan sebagai citraan, seperti mentari menyapa dengan hangat, segelas kopi susu memancingku untuk menikmati pagi dengan beberapa seruput hangat. Mungkin inilah yang membuatku tersedot masuk pada permainan diksi jurnalistik sastra.

Depersonifikasi, sebuah perbandingan dengan puncak kegalauan yang mendera. Manusia yang kehilangan jatidiri, dikiaskan dalam kata : mematung, terdiam, tak bergeming, wajah membeku, bermata kosong, dan lainnya.

Alegori, bicara menggunakan kias yang mengandung sifat-sifat moral/spiritual manusia. Biasanya terdapat dalam fabel. Misalnya, buaya yang tamak, kancil yang cerdik, kelinci yang berbudi. Tujuannya lebih banyak bersifat persuasif dan edukatif daripada argumentatif atau korektif.

Antitesis, salah satu gaya bahasa andalan dalam dunia jurnalistik sastra. Antitesis membuat laporan jurnalistik yang sifatnya faktual, menjadi seolah-olah karya fiksi yang sifatnya imajinasional. Gaya bahasa ini mengandung ciri-ciri semantik yang bertentangan. Misalnya, dia jaksa yang dipenjara karena kasus suap, dengan tinja pria setangah baya ini bisa naik haji tiga kali, kecantikannyalah yang membawa dirinya ke lembah nista, dan lainnya.

Pleonasme dan Tautologi, pemakaian kata mubazir atau berlebihan yang sebenarnya tidak perlu. Tautologi adalah penegasan terhadap suatu hal yang mengandung unsur pengulangan. Seperti, rektor baru akan tiba pukul 16.00 sore, dia mendengar dengan telinganya sendiri. Bahasa jurnalistik tidak menyukai gaya bahasa ini karena tidak sesuai dengan prinsip keringkasan dan kelugasan.

Perifrasis, tidak cocok digunakan untuk karya tulis yang ditulis jurnalis, karena sarat pemborosan kata. Misalnya, mengakhiri masa lajang (padahal bisa diganti saja dengan menikah), akhirnya beristirahat tenang untuk selama-lamanya (meninggal). Kalaupun terpaksa hanay dipakai sesekali saja.

Antisipasi (prolepsis), biasanya banyak ditemukan dalam jurnalistik olahraga, seperti masih enam bulan lagi Piala Dunia 2006 digelar, tetapi jerman sudah bersolek habis-habisan. Aku juga sering menggunakan gaya bahasa ini dalam menceritakan masa depan penuh harapan dan melukiskannya dengan optimis.

Koreksio (epanortosis), nah gaya bahasa ini sangat lekat untuk menghilangkan kejenuhan, bergaya informal sebagai bentuk variasi kalimat. Misalnya, pejabat itu, eh bukan, penjahat itu dikenal licin bagai belut karena tiga tahun buron baru pekan lalu tertangkap. Pemulung itu mencintai, eh, meniduri…

Itulah 10 gaya bahasa perbandingan dalam bahasa jurnalistik. Sebagai referensi saja 🙂

Sumber : Bahasa Jurnalistik (Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis). Drs. AS Haris Sumadiria M.Si. 2006. Simbiosa Rekatama Media