Giveaway 1 : Berbagi Ide untuk Pesantren

ide4pesantren“Mari Bikin Aksi Lagi untuk Pesantren!”

Begitulah pernyataan seorang Damai Wardani yang menggugah alam bawah sadar saya. Bahwa sesuatu yang terpendam di alam pikiran mesti disalurkan walaupun baru sebatas gagasan. Pesantren, sebuah fragmen masa lalu hadir kembali menyeruak. Maka inilah ide yang selama ini berkecamuk dalam benak. *lebay* tapi serius. 🙂

Pertama, saya ingin mencoba menyodorkan gagasan betapa pentingnya sebuah forum alumni yang berdaya guna. Yang bisa berkiprah minimal menjadi penyokong gagasan bagi adik-adiknya di pesantren. Mengapa alumni? Ya, alumni adalah elemen penting yang lebih dulu memakan asam garam dunia luar. Setidaknya, setelah lulus idealisme mereka dibenturkan pada kenyataan, bahwa perjuangan sebenarnya baru dimulai. Perjuangan bukan saja sekadar hafal berlembar-lembar halaman kitab, namun bagaimana akhlak seorang santri bisa menebar manfaat. Tak hanya sholeh individual, namun sholeh secara sosial. Mereka terlibat aktif di wilayah mereka tinggal, menjadi sosok yang menghidupkan arena pengajian, pendidikan, dan masyarakat.

Forum alumni ini bisa berbentuk riungan berformat silaturahmi dengan dua sesi berbeda. Sesi satu untuk seluruh alumni yang melibatkan satu angkatan, maka di sini nomor kontak berikut alamat email atau akun FB harus diinventarisir dengan cermat, jangan sampai ada satu pun yang terlewat. Meskipun formatnya silaturahmi sambil lesehan, penggerak forum ini selayaknya mencatat poin-poin pembicaraan yang ingin dicapai bersama. Agar forum tidak berlalu sekadar obrolan nostalgia, makan-makan, lalu selesai. Ada risalah pembicaraan yang bisa menelurkan gagasan untuk pesantren. Gagasan ini bisa berupa kondisi before after. Dan fokus pada proses “mengubah sesuatu”. Kita tak mungkin mengubah pesantren, namun yang diubah adalah mindset terhadap pesantren. Bagaimana pesantren menjadi tempat bersemainya generasi  berakhlak yang tahan banting terhadap ancaman globalisasi dan isme-isme liar yang menghadang, bukan sekadar bengkel perbaikan temporal lalu selesai.

Oiya karena alumni ini pasti memungkinkan banyak kesibukan yang berbeda, yang sudah berkarir dan berkeluarga. Ada baiknya memilih waktu yang memungkinkah semuanya bisa hadir, namun jika tidak bisa seluruhnya setidaknya ada orang-orang yang konsisten menetaskan gagasan dalam aksi nyata.

Saya pikir, selama ini seringkali kita bergulat pada teknis, namun lupa pada penguatan nilai filosofis. Maka bukan mustahil di tengah perjalanan, saat menemui kesulitan, kita langsung goyah dan mundur teratur karena di sini kita lemah dalam menguatkan akar. Idealisme roboh dengan angin yang bertiup karena akar yang tak cukup kuat menghujam tanah. Sambil menjalani setiap lingkup kegiatan, kita perlu memahami filosofi, “Untuk apa dan kemana kita akan pergi setelah ini?” Maka setiap gerak langkah akan dimulai dengan azzam yang sebenarnya bukan saja capaian sementara secara materi untuk dunia. Kuantitas tak selamanya baik dalam hidup karena lagi-lagi Allah melihat kualitas seorang hamba, liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amalaa, bukan aksaru ‘amalaa.

Nah, kedua, forum alumni beserta adik kelas yang masih berstatus sebagai santri. Ini perlu untuk menyiapkan generasi yang “tidak mengulang kesalahan kakak kelasnya”. Mengapa demikian? Saya merasa saat menjadi santri, idealisme saya terlalu berpihak pada dogma tanpa dasar. Saya sering memandang sebelah mata pada alumni, betapa mereka seperti “kuda yang lepas dari kandangnya”. Setelah lulus, menanggalkan segala identitas dan atribut yang lekat dengan pesantren. Tak sedikit, alumni yang terbawa arus dalam pergaulan mengerikan dan kita sedikit memicingkan mata serta bertanya-tanya, “benarkah si fulan atau fulanah itu lulusan pesantren A? Namun nyatanya, sosoknya berubah drastis tak mencerminkan orang pesantren?”

Forum dengan tema yang jelas bisa dihadirkan di sini, tentu saja dengan tema relevan yang benar-benar dibutuhkan. Forum alumni dengan tips masuk PTN terbaik tentu tidak salah, tetapi kadang yang lebih dibutuhkan adalah tema antisipasi dekadensi moral yang melibatkan mindset keliru pada gadget, media sosial, dan dunia luar. Mengapa gadget? Karena gadget bisa menjadi biang robohnya akhlak dengan penggunaan yang salah kaprah. Media sosial atau dunia maya menjadi ancaman nyata jika tidak disikapi dengan proporsional, seolah menjadi ancaman teror yang menjelma pornografi dan kekerasan. Dunia luar adalah dunia kampus, karir, dan keluarga. Bagi para alumni yang telah mengenyam dunia luar, berbagi gagasan dan pemikiran menjadi sesuatu yang berharga bagi sesama alumni dan adik kelasnya.

Harus ada dua pemikiran yang dipertemukan untuk menghasilkan sebuah antitesis dari mindset pesantren. Apa yang ada di benak para santri tentang alumni dan pesantren? Bagaimana pendapat mereka tentang keseharian sebagai santri? Bagaimana pemikiran mereka menyikapi zaman yang liar? Nah, peran alumni di sini memfasilitasi informasi yang dimiliki dari pengalaman masing-masing. Berbagi kisah dan pelajaran hidup selepas dari pesantren. Bagaimana menghadapi zaman teknologi dengan berpegang teguh pada nilai-nilai keimanan? Bagaimana persoalan nyata di lapangan yang mau tidak mau dihadapi setiap santri selepas lulus? Bagaimana bisa berkiprah dalam menyelenggarakan kegiatan yang membangun karakter? Bukan sekadar mengundang simpati para sponsor dan event akbar yang hanya menggapai kepuasan seremonial. Bahkan, bisa saja kita bergerak dari titik nol, keterbatasan yang ada diolah sedemikian rupa menjadi sesuatu yang bermakna meski sederhana.

Dan ketiga, bagaimana memperluas kesadaran dari pelajaran yang telah dipelajari. Belajar beragam kitab, hafal lalu sekadar tercetak dalam nilai di rapot dan ijazah. Bagaimana pelajaran di pesantren bisa berfungsi bagi keseharian kita kalau sudut pandang begitu sempit. Sempit dalam tataran capaian teks tanpa konteks yang nyata. Bagaimana pelajaran di pesantren bisa menghasilkan karakter yang kuat bagi setiap jiwa santri dan alumni. Inilah yang harus bersama dibangun dan dikuatkan dalam keseharian. Kembali pada sebuah ungkapan saat di pesantren dulu, ikatlah ilmu dengan menuliskannya! Maka ikatlah segala pengetahuan kita dengan mengendapkan makna yang berharga, ya bukan saja dengan mencatat harian dari papan tulis atau sebatas menyalin kitab ke dalam buku pelajaran. Yang lebih penting, bisa memaksimalkan media teknologi dengan menulis. Tentu saja bukan cuma menulis status di akun fesbuk dan berkicau di twitter. Media blog atau website bisa menjadi pilihan para santri dan alumni, untuk menampung gagasan yang hadir dalam keseharian mereka. Alangkah hebatnya, “sampah visual” dunia maya bisa kita lawan dengan istiqomah melalui satu ayat yang hadir pada laman virtual di sana. Setidaknya kita bisa “menyiram” konten negatif dengan konten positif bernafaskan pelajaran pesantren. Meskipun tak selamanya kita juduli dengan embel-embel pesantren, namun nafas pesantren tengah berhembus di sana. Di tulisan kita yang terpancang niat kuat untuk membangun karakter santri dan alumni pesantren di negeri ini yang seringkali kehilangan jati diri. Bismillah… Go Santri and  Alumni! And Keep writing valuable lessons to build character in boarding (pesantren). 🙂

2 Comments Add yours

  1. damae berkata:

    wuiih.. mantap mak Jundi tulisannyaaaa 😀
    Tapi, punten pisan, mak, kayaknya ada kesalahan teknis nih, coz GA 1, 2, 3, itu terpisah mak.
    Selengkapnya, mangga bisa dicek lagi ketentuannya disini ya
    GA 1 -> http://damai.malhikdua.com/2014/03/13/giveaway-berbagi-ide-untuk-pesantren
    GA 2 -> http://damai.malhikdua.com/2014/03/20/giveaway-2-pernah-dengar-pesantren
    GA 3 -> http://damai.malhikdua.com/2014/03/20/giveaway-3-a-moment-in-pesantren

    Hatur nuhun pisan, sebelumnya, mak 🙂

    Suka

    1. jundiurna92 berkata:

      Oiya siph makasih penjelasannya.. tulisannya udah disunting mae.. he 🙂

      Suka

Silahkan komentar, senang bisa berbagi :-)